Bila di posting sebelumnya, Saya rangkum sedikit jejak Saya dari awal melihat dunia sampai akhirnya sampai di Pesantren Sintesa, maka kali ini izinkan Saya berbagi drama yang pernah Saya alami beberapa waktu silam.
Mendaki dua gunung dalam satu malam.
Semenjak pasang internet di Rumah, Saya lebih sering menghabiskan waktu di depan layar daripada menikmati keindahan alam semesta.
Makanya, Saya agak sedikit terganggu dengan foto-foto para pecinta alam, katanya, yang diposting di sosial media.
Saya sebut ‘katanya’ karena dalam kenyataannya mereka hanya melabeli diri dengan nama ‘Cinta Alam’; tidak benar-benar cinta alam.
Buktinya apa? Nanti Saya kasih tahu di bawah.
Sementara foto yang membuat Saya terganggu, Kamu pasti sering melihatnya. Iya, foto kertas betuliskan, “Indonesia itu indah, bro, jangan di Rumah terus.”
Saya lupa tanggal pastinya, tapi seiring banyaknya orang yang upload foto itu, membuat Saya sedikit tertarik mencoba mendaki gunung.
Libur Telah Tiba. Hore. Hore. Hore
Saya mendaki dua gunung ini bersama teman satu organisasi ekstra kemahasiswaan. KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia), namanya.
Wacana yang diangkat adalah: My Trip My Tafakur.
Iya. Kami membawa nama ‘muslim’ di organisasi, masa’ hanya naik gunung, foto-foto, terus turun lagi. Gak ada hikmah yang diambil selama perjalanan, kan gak lucu, ya?
Jadilah hari itu diputuskan. Bertafakur di Gunung Papandayan dan Cikurai, Garut.
Kenapa dua gunung ini?
Alasan pertamanya adalah: dekat. Pft.
Alasan lainnya karena salah satu rekan organisasi Saya saat itu, rumahnya tepat di Lereng Gunung Cikurai.
Intinya, silaturahim ke Rumahnya, sungkem ke orang tuanya. Barangkali jadi jalan rezeki, kan? Lagipula, kata rekan Saya, di tempatnya banyak ladang pertanian. Jadi sekalian saja. Siapa tahu dikasih bumbu.
Mari Bersiap Siaga
Saya anak rumahan. Sedikit mustahil punya perlengkapan untuk mendaki. Satu-satunya yang saya miliki hanyalah jaket gunung.
Jaket yang dibeli dengan niat gaya-gayaan saja. Serius.
Akhirnya, Saya dapat carier model jadul. Itu pun dapat pinjam dari rekan SMK. Tidak apa-apa, yang penting bawa nyali.
Peralatan yang Saya bawa saat itu tidak banyak. Hanya mie rebus, syal, dan botol berisi air mineral ukuran besar.
Oh, ya, karena barang bawaan Saya sedikit, jadinya dititipi barang punya orang lain; matras, peralatan masak dan nesting, dan gas portabel.
Percaya atau tidak, Saya naik gunung pakai celana training dan sepatu jogging.
Mari Mendaki
Kami berangkat dari Tasikmalaya sekira pukul 07:00 WIB, sampai di Papandayan sekira pukul 8:30. Lalu langsung mendaki tanpa basa-basi.
Papandayan termasuk gunung yang ‘kurang pas’ untuk didaki. Karena, menurut Saya, lebih mirip tempat rekreasi daripada tempat pendakian.
Jalurnya landai, tidak terlalu menghabiskan tenaga. Makanya, banyak pemula seperti Saya memulai mencoba mendaki dari sini, Gunung Papandayan.
Tapi jangan salah … pemandangannya luar biasa indah. Tempatnya terurus. Maklum. Pulang pergi lereng-puncak bisa dilakukan dengan cepat. Jadi yang ngakunya penjaga gunung ini bisa rajin ‘sapu-sapu’.
Pemula seperti Saya bisa menghabiskan waktu dua setengah jam untuk sampai di Pondok Salada, tempat luas di Gunung Papandayan yang sering dipakai para pendaki untuk mendirikan tenda.
Ada toiletnya, lho.
Katanya, anak-anak KKN UNPAD yang buat. Atau ITB. Saya lupa lagi.
DI Pondok Salada ada bunga keabadian; bunga edelweiss. Entah, Saya kurang tahu kenapa disebut bunga abadi. Kalau ingin tahu, silakan cari sendiri saja, ya.
Hutan Mati
SEKILAS INFO: Bagi Anda yang tertarik belajar trading, investasi, crypto, dll. bisa belajar sedikit-sedikit di sini. Ke depannya, kami akan sajikan informasi penting dan faktual seputar trading (forex, saham, crypto) ataupun investasi di instrumen saham, reksa dana, emas, dll. Selain itu akan ada tutorial pemaksimalan aplikasi trading dan investasi seperti Ajaib, Stockbit, Bibit, dan juga pemanfaatan bank digital seperti Sea Bank atau Bank Jago.
Menurut Saya, Hutan Mati adalah tempat paling indah di Papandayan. Ada aura-aura misterius yang menarik orang-orang untuk menginjakkan kaki di sana.
Pasirnya putih, pohonnya hitam.
Semacam keseimbangan yang digambarkan oleh alam. Saya lupa berapa foto yang diambil di spot ini. Yang jelas, kami lupa diri. Wew.
Wajar. Prinsip para pecinta alam ‘kan salah satunya: Jangan mengambil apapun kecuali foto.
Ya sudah, foto-foto sepuasnya. Jangan protes.
Isi Energi Dulu
Setelah puas mengambil beberapa gambar untuk dijadikan kenangan, Saya dan rekan-rekan lekas turun ke lereng untuk melanjutkan ke agenda selanjutnya, makan gratis. Di mana? Ya, di Rumah rekan Saya tadi.
Rasa lelah yang menjangkiti berangsur-angsur pulih. Lebih tepatnya, terlupakan. Di Rumah rekan Saya itu, tubuh tidak mendapatkan porsi istirahat yang cukup. Alasannya: kami mahasiswa.
Maksudnya?
Mahasiswa suka diskusi. Jadi … dari awal sampai di Rumah rekan Saya ini, tidak pernah hening barang semenit pun. Terus saja ngobrol. Apa saja.
Hingga akhirnya, sampai pada diskusi tentang waktu. Kapan harus melanjutkan mendaki ke Gunung Cikurai?
Ada perdebatan yang cukup panjang, karena Cikurai ini tidak seperti Papandayan yang landai. Gunung ini kebalikannya!
Saya pernah bercakap-cakap dengan rekan kuliah yang sering naik-turun gunung. Ketika ditanya, “Gunung mana yang paling cape di daki?”
Jawab rekan Saya: Cikurai.
Sepakat! Mari Mendaki (lagi)
Kalau tidak salah ingat, kami mencapai mufakat sekira pukul 20:00.
Hasilnya: Langsung manjat lagi hari ini.
Alamak! Tahu kalian jam berapa Saya dan rekan-rekan berangkat ke lereng Cikurai? Jam 24:00.
Sudah malam, gelap, jalan menuju lerengnya juga butuh perjuangan. Sampai-sampai salah satu motor di rombongan kami berasap, tidak kuat manjat.
Itu baru perjalanan ke lerengnya saja.
Setelah sampai di pos pemberhentian, kami bariskan motor agar aman, lalu melaju sejurus kemudian.
Pukul 01:00 kami mulai mendaki, melewati kebun teh yang tanahnya licin bekas hujan. Wajar, sih, kan Saya pakai sepatu jogging.
Saya kurang mengerti jalur apa yang diambil, silakan cari sendiri opsi jalur yang ada di Gunung Cikurai. Saya tidak akan menulis apa yang tidak saya ketahui. Atau lupa.
Baru sampai pos satu, Saya sudah kelelahan. Entah, rekan-rekan Saya sudah sampai di pos berapa, yang jelas Saya tertinggal jauh.
Sekira pukul 02:30 malam, Saya memutuskan untuk berhenti di awal pos dua menuju pos tiga. Sendiri. Air habis. Gerimis. Tidak ada senter.
Saya benar-benar mengira berjalan di urutan terakhir rombongan. Tapi ternyata, yang kami jadikan leader karena sudah berpengalaman masih di belakang. Alasannya mencari paralone air.
Dahulu, di Pos dua, katanya, ada paralone yang bisa diambil airnya untuk para pendaki. Tapi sekarang sudah tidak ada. Makanya, leader tadi masih di belakang, mencari-cari paralone yang hilang.
DIa memotivasi Saya untuk terus bergerak agar tidak terlalu merasakan dingin. Saya memaksakan diri untuk mengikuti anjuran beliau hingga sampai di pos tiga.
Saya istirahat di sana sampai shubuh. Shalat sembari menunggu leader yang sedang turun lagi ke lereng mengisi jerigen 10lt. Gila.
Singkat cerita, Saya dan rekan-rekan sampai di Puncak CIkurai siang hari, sekira pukul 13:00 kalau tidak salah.
Cuacanya tidak mendukung. Mendung. Tenda pun segera didirikan untuk kami beristirahat.
Dan benar, di Puncak turun hujan. Jangan tanya bagaimana suhu di sana. Pokoknya benar-benar drama, seluruh tubuh bergetar kedinginan, entah berapa skala richter.
Tidur di bawah tenda yang dihantam buliran air langit sungguh tidak enak. Sudah begitu, satu tenda rame-rame. Tidur desak-desakan.
Ah …
Semua Lelah yang Terbayar
Sekian.
[…] sama yang Saya gunakan mendaki dua gunung dalam semalam di posting sebelumnya, syal yang juga sudah pernah ditanda tangani syeikh dari Palestina, daurah […]