
Ini salah satu cerita yang terjadi lebih baru dari posting-posting sebelumnya.
Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) Jawa Barat ke-34 tahun ini kebetulan diselenggarakan di Tasikmalaya. Tepatnya kemarin tanggal 17 – 23 April 2016.
Inti dari acara ini sebenarnya, menurut Saya, adalah untuk memantik kembali kesadaran warga Kota Tasikmalaya yang katanya punya julukan Kota Santri.
Selain juga membumikan Al-Qur’an di Tanah Priangan agar langit bergetar dan menurunkan berkahnya.
Mudah-mudahan, harapannya, oknum-oknum yang menjadi sampah di kota santri dapat segera tersinari cahaya Tuhan dan merecycle dirinya supaya lebih beradab.
Iya. Saya rasa nama tidak selalu menjadi representasi asli dari apa yang menjadi tubuh. Meskipun begitu, masih banyak yang bangga dengan nama tersebut.
Saya pernah survey ke beberapa tukang becak. Kebanyakan dari mereka punya semangat itu; ada kebanggaan dengan julukan kota santri.
Mereka jawab sambil merekok. “Huhhss …”
Parade Kesenian
Kegiatan MTQ menjadi sarana konsolidai para eksekutif daerah se-Jawa Barat dalam mewujudkan Jabar yang lebih bermartabat dan religius.
Sambil menyelam minum air, tiap daerah memperkenalkan produk unggulan yang menjadi ciri khas dalam parade yang diselenggarakan di area Car Free Day Jl. KHZ. Mustofa, pagi sampai siang hari.
Mulai dari kerajinan, makanan, seni; rupa, musik, tari, dll., dipertontonkan dengan suasana meriah.

Setelah parade, dalam agenda yang sudah disepakati, pembukaan MTQ secara resmi diselenggarakan di Lapangan Dadaha, sekira 500 meter dari rumah Saya.
Beruntung memang. Saya pernah mendengar percakapan sepasang suami-istri yang sedang mengasuh anak mereka pada hari minggu.
“Enak, ya, tempatnya. Kalau saja bisa setiap hari ke sini. Jauh, sih …”
Dadaha dan sekitarnya memang sudah menjadi sasaran semua lapisan masyarakat ketika ingin merehatkan pikiran. Entah itu dengan berolahraga, menonton kesenian, wisata kuliner, ataupun sekadar duduk santai menikmati angin sepoy-sepoy.
Seremoni Pembukaan
Seremoni pembukaan dimulai bakda isya, sekira pukul 08:00. Dimeriahkan oleh beberapa artis ibukota yang islami. Salah satunya Wali Band.

Berhubung sedang tidak berkegiatan, Saya berinisiatif mengabadikan momen-momen yang terjadi di agenda pembuakaan ini.
Soalnya di kampus, Saya diamanahi sebagai anggota divisi media untuk suatu organisasi. Tapi Saya tidak punya fasilitas yang menunjang, kecuali kemampuan bersosial media. Anteng online, maksudnya.
Untungnya ketua organisasi yang saya ikuti itu punya kamera SLR yang kebetulan tidak dipakai. Sudah begitu disimpan di sekretariat di kampus.
Jarak rumah Saya ke kampus sekira 500m.
Sekali lagi, Saya beruntung. Segala Puji bagi Allah.
Segera Saya bergegas setelah mendapatkan izin dari pemiliknya. Kalau Saya ngaca, sudah mirip professional, laah …
Ganteng juga.

Perkiraan Saya, jalanan pasti padat. Jadi Saya memutuskan berjalan kaki saja, tidak manja seperti anak sebelah. Deket ini.
Dan benar saja, mobil tidak bisa melaju, motor memaksa melintas di atas bahu jalan.
Pengendara Indonesia memang tidak sehat. Selalu memikirkan kepentingan diri sendiri. Maunya ‘Saya cepat sampai. Kamu belakangan …’
… seringkali pejalan kaki kena gonggongan mereka. Bahkan di beberapa video yang pernah Saya lihat, berlanjut ke gulat jalanan.
Miris. Mungkin SIMnya print sendiri di rumah.
Melihat kemacetan seperti itu Saya dengan sepenuh sadar berjalan di tengah jalan. Tidak apa-apa, dong, suka-suka; ‘kan pengedara motor ambil bahu jalan.
Sampai di lokasi, terlihat partai ibu-ibu haus piknik sudah bergumul. Mereka adalah kader pemerintahan kampung. Ada dari PKK, posyandu, ibu RT, dll.
Ada juga geng murid madrasah yang pernah Saya ajar.
Menembus Barikade
SEKILAS INFO: Bagi Anda yang tertarik belajar trading, investasi, crypto, dll. bisa belajar sedikit-sedikit di sini. Ke depannya, kami akan sajikan informasi penting dan faktual seputar trading (forex, saham, crypto) ataupun investasi di instrumen saham, reksa dana, emas, dll. Selain itu akan ada tutorial pemaksimalan aplikasi trading dan investasi seperti Ajaib, Stockbit, Bibit, dan juga pemanfaatan bank digital seperti Sea Bank atau Bank Jago.
Untuk beberapa waktu Saya menunggu di gapura pintu masuk. Barangkali Pak Aher dan Dedi Mizwar mau minta difotoin, kan? Siapa tahu.
Singkat cerita semua telah siap. Tiap-tiap pejabat daerah sudah menempati tempat yang disediakan. Duduk di kursi sofa dengan batik warna hijau. Mirip lumut. Seperti biasa, tempat bagi mereka adalah di depan makanan. Eh.

Ada barikade polisi dan TNI yang menjaga agar warga biasa tidak bisa lebih dekat ke panggung. Hanya wartawan dan panitia dokumentasi yang bisa melintas dan mendekat ke panggung mengabadikan momen.
Saya termasuk orang yang ditahan. Lalu kemudian mundur beberapa langkah.
Tenang, bukan mau ancang-ancang menerobos barikade, kok. Saya bukan orang seperti itu. Seorang ksatria tidak boleh mundur karena penghalang kecil, kecuali mundur untuk menyusun strategi. Itu boleh.
Sreeet, Saya buka ritsleting tas, lalu keluarkan senjata: kamera SLR pinjaman. Lalu dengan percaya diri yang mengalahkan para komika stand up comedy, Saya dekati lagi barikade di sisi yang berbeda.
Saya perlihatkan kamera, mirip SPG di toko-toko. Dan … dengan mudahnya Saya diizinkan masuk ke area wartawan dan panitia. Hore.

Lancang, sih, di posisi itu kadang Saya menghalangi ‘pemain’ resmi untuk mengambil gambar terbaik. Kalau dipikir-pikir, Saya jadi mirip pengendara yang disebutkan di atas tadi.
Saya tidak akan menyatakan pembenaran. Hanyasanya perlu diketahui … orang yang Saya ambil anglenya tidak marah, tidak pula melirik tanda gak suka. Mungkin dia paham, malah pasti lebih paham, menjadi pengabadi momen butuh ‘balapan’ mengisi pos terbaik. Meskipun ‘terbaik’ itu hanya opini masing-masing, sih.
Memanfaatkan kesempatan, Saya ambil foto sebanyak-banyaknya. Dengan teknik blur sana-sini, kualitas fotonya aduhai! Jangan pernah tanya, atau Saya tidak akan menjawab.

Barikade Dibuka
Selesai sambutan-sambutan yang disampaikan oleh ketua LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an) Tasikmalaya, Walikota Tasikmalaya, dan Gubernur Jawa Barat –seingat Saya cuma itu, barikade dibuka.
Warga berhamburan mendekat ke panggung utama. Tidak sedikit yang berkopiah dan sarung, tapi sambil rokok-an berlari.

Kenapa mereka berlari?
Ada isyarat dari Master of Ceremony, “Sebentar lagi akan kita nikmati hiburan utama dari band papan atas nasional …”
Ya, wali sebentar lagi akan tampil.
Tua-muda, laki-perempuan, jomblo-berpasangan; semuanya berkumpul dan bercampur. Saya termasuk golongan muda, laki, dan jomblo. Maksud Saya, solo karier.
Waktu itu sekira pukul 10:00 malam. Saya melihat ada anak-anak SD yang setia menunggui sampai larut begini.
Saya kurang setuju. Masih belum masanya mereka dibiarkan berkeliaran malam hari tanpa pengawasan. Banyak polusi dan contoh-contoh yang tidak baik. Bagaimana mau mempertahankan moral bila anak-anaknya akrab dengan dunia konser? Bah!
Bukan Wali Songo, tapi Wali Papat
Akhirnya yang ditunggu-tunggu maujud di atas panggung. Gemuruh emak-emak penggila artis mencapai frekuensi yang dapat menghancurkan gendang telinga. Oke, ini lebay.
Seperti halnya menembus barikade di awal tadi, Saya pamerkan kamera, meringsek di antara keramaian sambil bilang, “Punten, kang …”
Saya dibiarkan lewat. Karena apa lagi kalau bukan disangka panitia. Pft.
Akhirnya Saya berdiri tepat di muka panggung. Di depan wali band yang sedang bersenandung ria lagu-lagu islami yang sungguh … membangkitkan perenungan.

Saya lihat sekitar, muncul lagi kemirisan. Santri yang tidak mencerminkan diri sebagai santri. Mungkin lupa kalau mereka pakai kopiah dan sarung. Mereka saling gendong-gendongan lalu joget mirip penonton konser Slank atau Iwan Fals.
Jangan Lupakan Palestina!
Orang-orang bergembira menikmati hiburan. Lupa, saudara kita di Palestina sana sedang berjuang mati-matian mempertahankan hidupnya. Terlebih dari itu … warisan kekasih termulia; para anbiya.
Ada keganjalan dalam hati melihat sekte sarungan yang sikapnya tidak di-sarung-i. Setidaknya, Saya harap, euforia dan sorak sorai yang diekspresikan mencerminkan adab persaudaraan, meskipun terpisah jarak yang sangat jauh.
Apa adab persaudaraan itu? Tidak –terlalu- bersenang-senang saat saudara kita berjuang. Bukankah kita satu tubuh yang ketika satu bagian sakit, bagian yang lainnya juga merasakan sakit?
Termasuk adab juga, saling mendoakan agar bersama-sama dikuatkan.
Melihat celah, dan kebetulan saat itu Saya sedang memakai syal dengan rajutan bendera Palestina-Indonesia, hati Saya terdorong untuk memberikannya secara cuma-cuma pada salah satu personel wali band.

Syal sama yang Saya gunakan mendaki dua gunung dalam semalam di posting sebelumnya, syal yang juga sudah pernah ditanda tangani syeikh dari Palestina, daurah sana-sini, kajian sana-sini, dan tak lupa dibawa tidur ‘membuat pulau’, kini berpindah tangan ke ust. Apoy Wali Band. Allahu Akbar!

Doa Saya, supaya agenda MTQ ini membangkitkan ghirah dan kesadaran, bahwa tadi, salah satu ‘tubuh’ kita sedang diserang ‘kanker’ dan kita harus sama-sama mengobatinya.
Nuhuun.