EMHA AINUN NADJIB – Memiliki nama asli Muhammad Ainun Nadjib. Nama beliau di buku-buku adalah Emha Ainun Nadjib, tapi kita sering mengenalnya dengan sebutan Cak Nun.
Tulisan ini mau dianggap biografi terserah, mau dianggap ngutip terserah. Pokoknya terserah. Seperti halnya beliau, sak karepmu, mau dipanggil kiyai, mbah, ‘ulama, ustadz, budayawan, atau apapun. Sebab beliau tidak butuh nama-nama itu. Sesuaikan saja dengan kebahagiaanmu.
Lahir di Jombang, Jawa Timur, pada tanggal 27 Mei 1953. Karni Ilyas, moderator nyentrik ILC itu selalu memanggilnya sebagai seorang selebritis yang hakiki.
Ya, bagaimanapun anda menyebutnya, beliau senang-senang saja. Bahkan ketika anda menyebutnya kafir atau sesat sekalipun. Tapi apa iya segampang itu mengkafirkan seorang Cak Nun yang bisa mempersuasi abangan untuk sedikit demi sedikit mengkaffahkan diri? Ya … dengan menjadi dirinya sendiri.
Mengenalkan Allah dengan cara mengajak berpikir, barangkali jadi metoda yang diusung oleh Cak Nun. Dan ini adalah proses yang sepertinya mengundang golongan lain untuk menyebutnya dengan landihan yang tidak-tidak.
Cak Nun ya Cak Nun. Sudah seperti itu saja menyebut beliau.
Dengan semangat Islam, Emha Ainun Nadjib selalu berusaha untuk tidak membenci pada siapapun. Menerima siapapun saja yang ingin berkomunikasi dengannya.
Seperti misalkan ketika Maiyah (majlisnya Cak Nun) di Sleman, kedatangan tamu Ust. Felix Siauw yang notabene bergerak di organisasi HTI, Cak Nun tetap menerimanya. Padahal rerata jamaah Maiyah beliau adalah orang-orang ‘galak’, begitu kata seseorang di kolom sentilan detikcom.
Ya .. ndak usah ditarik lebih jauh lagi kalau pemikiran Cak Nun banyak tidak sependapatnya dengan HTI. Apa kata Cak Nun soal ini?
“Saya ini ingin menjadi perekat bagi semua pihak. Bertabayun, berdiskusi, tukar pikiran, dan malam ini, kita kedatangan tamu jauh dari Jakarta, ust Felix Siaw, yang saat ini ada di tengah-tengah kita entah di sebelah mana.”
Begitu yang ditulis kawan Ust. Felix saat membersamai beliau sinau bareng Cak Nun. Lalu Cak Nun melanjutkan,
“Saya banyak tidak sependapat dengan pemikiran dia (ust Felix Siaw) dan dia juga banyak tidak sependapat dengan saya. Setiap orang memang tidak harus sependapat tetapi kebersamaan dan diskusi perlu terus dibangun.”
Anda lihat? Betapa kemudian keduanya memiliki jiwa keterbukaan yang lebar. Ust. Felix sudi datang ke Maiyah Emha Ainun Nadjib, dan Cak Nun pun berbahagia kedatangan tamu Ust. Felix. Jadi,
Emha Ainun Nadjib ya Emha Ainun Nadjib. Sudah seperti itu saja menyebut beliau.
Ada sebuah video singkat yang dibuat oleh akun instagram @edhnx, judulnya Identitas. Isinya, Cak Nun bicara begini,
“Jangan diagamakan itu NU, jangan diagamakan itu PKS, jangan diagamakan itu Hizbut-tahrir, jangan diagamakan Muhammad, jangan diagamakan ahlussunnah, jangan diagamakan itu syiah. Kamu kok sibuk amat sama identitas.
Mbok, dilihat kelakuan saya itu bagaimana gitu aja lho. Saya ini nyuri apa tidak kan gitu kan? Saya ini orang ambisius apa tidak, saya ini orang yang bisa dipercaya apa tidak, aman gak kalau kamu sama saya, urusan sama saya aman apa tidak. Mbok gitu …
Kok yang dilihat kok benderanya apa. Lha, Rasulullah itu ndak NU, ndak Muhammadiyah, ndak Sunni, ndak Syiah, ndak Hizbut-tahrir, ndak PKS, ndak PKB. Kita ini bertengkar tiap hari berdasarkan identitas itu.
Mari kita efisien untuk kebaikan. Fastabiqul khayrat.”
Barangkali anda tidak setuju dengan pendapat itu. Ya itu tidak masalah. Tapi coba juga lihat video ini (dari akun IG @noureez12) dengan judul Hayya ‘alal Falah.
“Di dalam kehidupan yang Allah merahmatinya … dan memberi cobaan-cobaan yang indah. Tantangan-tantangan yang seolah-olah merupakan kesulitan, tapi sesungguhnya mengandung kenikmatan dan keindahan yang luar biasa. Ucapkan, “Allahu Akbar, Allahu akbar.” setiap saat di dalam hatimu, kemudian perbaharui sumpahmu, “Asyhadu an laa ilaaha illallaah, wa asyhadu anna muhammadarrasuulullah.”
Kemudian tidak berhenti salat … di dalam ibadah mahdahmu maupun salat di dalam ibadah muamalahmu; di kantor-kantormu, di tempat kerjamu, di perjalanan, di rumahmu, di dalam diammu, di dalam duduk maupun berdirimu, di manapun saja dan kapan saja engkau melakukan SALAT.
Artinya engkau meletakkan seluruh pekerjaan dan perjuanganmu itu sebagai bentuk sujudmu kepada Allah swt. Maka setelah Hayya ‘alash shalah, hayya ‘alash shalah yang engkau lakoni tiap hari, siang dan malam, engkau akan masuk ke dalam Hayya ‘alal falah.”
Apa anda setuju? Jadi kenalilah Emha Ainun Nadjib berdasarkan apa yang anda suka. Sesederhana itu.
Kehidupan Pribadi Cak Nun (Emha Ainun Nadjib)
Ini berdasarkan apa yang tertulis di Wikipedia. Kami hanya menulisnya ulang dengan bahasa sendiri.
SEKILAS INFO: Bagi Anda yang tertarik belajar trading, investasi, crypto, dll. bisa belajar sedikit-sedikit di sini. Ke depannya, kami akan sajikan informasi penting dan faktual seputar trading (forex, saham, crypto) ataupun investasi di instrumen saham, reksa dana, emas, dll. Selain itu akan ada tutorial pemaksimalan aplikasi trading dan investasi seperti Ajaib, Stockbit, Bibit, dan juga pemanfaatan bank digital seperti Sea Bank atau Bank Jago.
Cak Nun adalah anak keempat dari 15 bersaudara. Memiliki jiwa ‘pemberontak’ sejak mondok di Gontor, beliau mengakhiri studi formalnya di semester satu UGM Fakultas Ekonomi.
Tapi Cak Nun adalah pemberontak yang dirindukan. Setelah ‘diusir’ dari Gontor karena melakukan ‘demo’ terhadap pimpinan pondok dengan alasan sistemnya yang kurang baik, beberapa sobekan kalender kemudian beliau malah diundang mengisi acara majlis di sana.
Antara tahun 1970 – 1975, Emha menggelandang di Malioboro, Yogyakarta. Belajar sastra kepada Umbu Landu, orang yang paling mempengaruhi perjalanan spiritual Cak Nun. Masa-masa itu, beliau juga bertemu dengan seniman sarat makna lain seperti Ebiet G. Ade.
Menikah dengan Novia Kolopaking secara dramatis, setelah gagal di pernikahannya yang pertama. Cerita tentang mereka bisa anda lihat di youtube. Tinggal ketik saja di kotak pencarian Cak Nun dan Novia Kolopaking.
Salah satu putra yang mewarisi pemikiran beliau adalah Sabrang Mowo Damar Panuluh atau yang lebih kita kenal sebagai Noe Letto.
Ya, Emha Ainun Nadjib adalah ayah dari vokalis band sufistik itu. Tak heran kalau lirik-lirik dari lagu-lagu yang dilahirkan dari rahimnya selalu ditelisik oleh siapapun saja pencari makna, termasuk kami.
Maiyah Indonesia Cak Nun
Secara rutin Cak Nun berkeliling Indonesia mengadakan majlis Maiyah. Di antara tempat yang sudah rutin disambangi oleh beliau adalah:
- Yogyakarta dengan tajuk Mocopat Syafaat
- Jakarta dengan tajuk Kenduri Cinta
- Jombang dengan tajuk Padhangmbulan
- Semarang dengan tajuk Gambang Syafaat
- Surabaya dengan tajuk Bangbang Wetan
- Mandar dengan tajuk Paparandang Ate
- Sidoarjo dengan tajuk Maiyah Baradah
- Malang, Hongkong, dan Bali dengan tajuk Obro Ilahi
- Banyumas Raya dengan tajuk Juguran Syafaat
- Magelang dengan tajuk Maneges Qurdoh
Di majlis maiyah itu, Cak Nun melakukan dekonstruksi pemahaman atas pola komunikasi antar golongan, nilai-nilai yang harus dianut, pendidikan cara berpikir, dan menyelesaikan solusi masyarakat.
Essai dan Buku-Buku Emha Ainun Nadjib
Entah sudah berapa tulisan yang terekam oleh kertas. Yang jelas, Cak Nun sangat rajin mengejawantahkan pemikirannya ke tulisan-tulisan. Dari mulai essai, buku, sampai pun pada postingan di blog officialnya.
Berikut daftar buku yang sudah ditulis Cak Nun (Emha Ainun Nadjib),
- Tuhan pun ‘Berpuasa’
- Slilit Sang Kiai
- Kafir Liberal
- Markesot Bertutur
- Anggukan Ritmis Kaki Pak Kiai
- Hidup itu Harus Pintar Ngegas & Ngerem
- Keranjang Sampah
- Demokrasi Tolol Versi Saridin
- Sastra yang Membebaskan
- Gerakan Punakawan Atawa Arus Bawah
- Meyibak Kabut Saat-saat Terakhir Bersama Soeharto
- Sajak-sajak Sepanjang Jalan
- Demokrasi La Roiba Fih
- Kiai Kocar-kacir
- Iblis Nusantara Dajjal Dunia
- Kagum pada Orang Indonesia
- Suluk Pesisiran
- Yang Terhormat Nama Saya
- Gelandangan di Kampung Sendiri
- Doa Mohon Kutukan
- Folklore Madura
- Jogja Indonesia Pulang Pergi
- Titik Nadir Demokrasi: Kesunyian Manusia dalam Negara
- Doa Mencabut Kutukan, Tarian Rembulan, Kenduri Cinta: Sebuah Trilogi
- Cahaya Maha Cahaya
- Kerajaan Indonesia
- Nasionalisme Muhammad: Islam Menyongsong Masa Depan
- Dari Pojok Sejarah
- 99 untuk Tuhanku
- Terus Mencoba Budaya Tanding
- Indonesia Bagian dari Desa Saya
- Kiai Bejo, Kiai Untung, Kiai Hoki
- Pak Kanjeng
- Markesot Bertutur Lagi
- Indonesia Bagian Sangat Penting dari Desa Saya
- Syair Lautan Jilbab
- BH
- Surat kepada Kanjeng Nabi
- Bola-bola Kultural
- Kiai Sudrun Gugat
- Ikrar Husnul Khatimah Keluarga Besar Bangsa Indonesia
- Ibu, Tamparlah Mulut Anakmu
- Istriku Seribu
- OPLeS: Opini Plesetan
- Perahu Retak
- Jejak Tinju Pak Kiai
- Sesobek Buku Harian Indonesia
- Ziarah Pemilu, Ziarah Politik, Ziarah Kebangsaan
- Abacadabra Kita Ngumpet
- Orang Maiyah
- Seribu Masjid Satu Jumlahnya: Tahajjud Cinta Seorang Hamba
- Secangkir Kopi Jon Parkir
Kata Mutiara Cak Nun
Lha, kata mutiara Cak Nun. Kami agak terpaksa memakai diksi tersebut karena orang-orang mencari argot Cak Nun (yang jero) dengan terms itu: kata mutiara Cak Nun.
Oleh karena itu … kami tuliskan saja beberapa. Sisanya cari sendiri.
1. Kejahatan adalah nafsu yang terdidik. Kepandaian, seringkali, adalah kelicikan yang menyamar. Adapun kebodohan, acapkali, adalah kebaikan yang bernasib buruk. Kelalaian adalah itikad baik yang terlalu polos. Dan kelemahan adalah kemuliaan hati yang berlebihan. (Cak Nun)
2. Manusia Indonesia tidak jera ditangkap sebagai koruptor, tetapi berpikir besok harus lebih matang strategi korupsinya. Mereka melakukan hal-hal melebihi saran setan dan ajaran iblis, pada saat yang sama bersikap melebihi Tuhan dan Nabi
3. Seringkali orang merasa bisa memahami sesuatu, padahal sesungguhnya ia hanya memahami pemahamannya sendiri belaka. Orang melihat dan merasa telah berhasil melihat, padahal yang dicapainya hanyalah batas penglihatannya saja.
4. Segala sesuatu yang dibatasi oleh mati, bukanlah sukses. Sukses adalah suatu pencapaian yang melampaui maut,yang abadi melintasi kematian, mengalir hingga titik simpul di mana awal dan akhir menyatu.
5. Apa gunanya ilmu kalau tidak memperluas jiwa seseorang sehingga ia berlaku seperti samudera yang menampung sampah-sampah. Apa gunanya kepandaian kalau tidak memperbesar kepribadian seseorang sehingga ia makin sanggup memahami orang lain?